Sabtu, 27 Maret 2010

Macam - macam Tarian Indonesia

(http://yudhim.blogspot.com/2008/02/macam-macam-tarian-indonesia.html)

1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
Tari Perang

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

Tari Kancet Ledo

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
Tari Hudoq

6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
Tari Belian Bawo

9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.

Seni tari suku Kutai dapat dibagi menjadi 2 jenis, yakni Seni Tari Rakyat dan Seni Tari Klasik.
Seni Tari Rakyat
Merupakan kreasi artistik yang timbul ditengah-tengah masyarakat umum. Gerakan tarian rakyat ini menggabungkan unsur-unsur tarian yang ada pada tarian suku yang mendiami daerah pantai.
Yang termasuk dalam Seni Tari Rakyat adalah:
1. Tari Jepen
Jepen adalah kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai Mahakam maupun di daerah pantai.
Tarian pergaulan ini biasanya ditarikan berpasang-pasangan, tetapi dapat pula ditarikan secara tunggal. Tari Jepen ini diiringi oleh sebuah nyanyian dan irama musik khas Kutai yang disebut dengan Tingkilan. Alat musiknya terdiri dari gambus (sejenis gitar berdawai 6) dan ketipung (semacam kendang kecil).
Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri, sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen 29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
Seni Tari Klasik
Merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan Kraton Kutai Kartanegara pada masa lampau.
Yang termasuk dalam Seni Tari Klasik Kutai adalah:
1. Tari Persembahan
Dahulu tarian ini adalah tarian wanita kraton Kutai Kartanegara, namun akhirnya tarian ini boleh ditarikan siapa saja. Tarian yang diiringi musik gamelan ini khusus dipersembahkan kepada tamu-tamu yang datang berkunjung ke Kutai dalam suatu upacara resmi. Penari tidak terbatas jumlahnya, makin banyak penarinya dianggap bagus.
Tari Ganjur

2. Tari Ganjur
Tari Ganjur merupakan tarian pria istana yang ditarikan secara berpasangan dengan menggunakan alat yang bernama Ganjur (gada yang terbuat dari kain dan memiliki tangkai untuk memegang). Tarian ini diiringi oleh musik gamelan dan ditarikan pada upacara penobatan raja, pesta perkawinan, penyambutan tamu kerajaan, kelahiran dan khitanan keluarga kerajaan. Tarian ini banyak mendapat pengaruh dari unsur-unsur gerak tari Jawa (gaya Yogya dan Solo).
3. Tari Kanjar
Tarian ini tidak jauh berbeda dengan Tari Ganjur, hanya saja tarian ini ditarikan oleh pria dan wanita dan gerakannya sedikit lebih lincah. Komposisi tariannya agak lebih bebas dan tidak terlalu ketat dengan suatu pola, sehingga tarian ini dapat disamakan seperti tari pergaulan. Tari Kanjar dalam penyajiannya biasanya didahului oleh Tari Persembahan, karena tarian ini juga untuk menghormati tamu dan termasuk sebagai tari pergaulan.
4. Tari Topeng Kutai
Tari ini asal mulanya memiliki hubungan dengan seni tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri, namun gerak tari dan irama gamelan yang mengiringinya sedikit berbeda dengan yang terdapat di Kerajaan Singosari dan Kediri. Sedangkan cerita yang dibawakan dalam tarian ini tidak begitu banyak perbedaannya, demikian pula dengan kostum penarinya.
Tari Topeng Kutai terbagi dalam beberapa jenis sebagai berikut:
01. Penembe
02. Kemindhu
03. Patih
04. Temenggung
05. Kelana
06. Wirun
07. Gunung Sari
08. Panji
09. Rangga
10. Togoq
11. Bota
12. Tembam
Tari Dewa Memanah

Tari Topeng Kutai hanya disajikan untuk kalangan kraton saja, sebagai hiburan keluarga dengan penari-penari tertentu. Tarian ini juga biasanya dipersembahkan pada acara penobatan raja, perkawinan, kelahiran dan penyambutan tamu kraton.
5. Tari Dewa Memanah
Tarian ini dilakukan oleh kepala Ponggawa dengan mempergunakan sebuah busur dan anak panah yang berujung lima. Ponggawa mengelilingi tempat upacara diadakan sambil mengayunkan panah dan busurnya keatas dan kebawah, disertai pula dengan bememang (membaca mantra) yang isinya meminta pada dewa agar dewa-dewa mengusir roh-roh jahat, dan meminta ketentraman, kesuburan, kesejahteraan untuk raky
at.

Pengobatan Baliant pada masyarakat Kalimantan Tengah

Pengobatan Balian di Kalimantan Tengah, Kini Menjadi FENOMENA PSIKOTERAPI PEDALAMAN. Ritual-ritual balian itu berusaha menembus ruang bawah sadar pasien, mempengaruhi pikiran pasien untuk membebaskannya dari rasa takut. Kekuatan pasien dirangsang, dijadikan penyembuh alami. Tidak
hanya itu, balian berupaya mengintegrasikan ingatan-ingatan pasien
ke dalam tatanan kosmik, memperbaiki disharmoni. Mereka percaya
disharmoni adalah sumber penyakit.

Asap kemenyan terus mengepul di ruangan berukuran 5 x 4 meter
persegi. Perlahan balian perempuan Indu As (40), mengasapi bojah
tawur (Dayak Ot Dnum: beras tawur). Komat-kamit sebentar, sang balian
menuturkan asal mula beras sambil memohon kepada sang beras. Balian
yakin beras itu bisa menjadi duta yang akan mengajukan permohonan
kepada para sangiang atau leluhur untuk mengobati.

Malam itu Indu As memang sedang mengobati istri Zailani (26),
warga Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito Murung Raya, Kalimantan
Tengah. Pasien dan balian berada di tengah ruangan sementara belasan
warga menyaksikan upacara itu.

"Beras itu akan berubah menjadi tujuh perempuan cantik, siap
mencari pengobatan ke seluruh penjuru mata angin," kata Marko Mahin,
antropolog agama dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan
Evangelis.

Enam perempuan pergi ke sana kemari mencari leluhur atau sangiang
yang akan mengobati sementara satu putri tetap tinggal di tempat.
Indu As yang menjadi perantara bisa saja berbahasa Dayak Ot
Danum, Dayak Ngaju, Dayak Punan, atau Dayak Murung, bisa juga Banjar
tergantung leluhur yang masuk ke tubuhnya.

"Balian sebenarnya tidak tahu banyak bahasa. Namun, karena dia
dimasuki roh lain dia bisa bicara sesuai dengan bahasa roh yang
masuk," kata Lukas, warga Tumbang Topus.

Roh telah memasuki tubuh Indu As. Tangannya terlihat menyisir
rambut panjang. Roh yang masuk ke tubuh balian itu katanya memang
seorang nenek berambut panjang. Tangannya kemudian mengambil batu
kait yang telah disiapkan untuk memulai mendiagnosa penyakit.

Terjadi sebuah dialog dalam bahasa Ot Danum, "Narai gawin ketu
toh (apa kegiatan kalian ini)," tanya leluhur itu melalui mulut
basie, sebutan untuk balian di hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah.
"Ikei handak manantamba (kami ingin diobati)," jawab sang warga
yang berada di sekitar pengobatan.

"Narai kahabae? (Apa sakitnya?)," tanya basie.
"Ie toh pehe usoke tuntang bahali nahaseng (ia sakit dada dan
sulit bernapas)," jawabnya.

"Laku gula bahandang esu (minta gula merah cucu)," minta nenek
itu yang kemudian disodori gula merah.
Nenek yang masuk ke dalam tubuh balian mendeteksi penyakit dengan
gula merah dan mengambil penyakit menggunakan sisir. Tiap leluhur
yang masuk memiliki metode pengobatan berbeda, ada yang menggunakan
sisir, batu, air, tepung tawar, juga darah ayam.

Pengobatan pedalaman
Ritual balian hingga kini masih menjadi alternatif utama di
pedalaman Kalimantan. Tiap provinsi memiliki variasi ritual yang
berbeda namun intinyahampir sama.

Di komunitas Dayak Meratus Kalimantan Selatan, pengobatan balian
dilakukan bersamaan upacara selamatan atau baaruh.
Di Kalimantan Tengah, upacara balian bisa digelar kecil-kecilan
seperti yang dilakukan pada keluarga Zailani di atas. Di Kalteng
basie perempuan merupakan fenomena langka karena saat ini didominasi
laki-laki.

Di Kalimantan Timur, balian perempuan masih banyak terlihat dalam
setiap upacara. Upacara balian di Kaltim, seperti pada komunitas
Dayak Benuaq di rumah panjang Papas Eheng Barong Tongkok Kabupaten
Kutai Barat, digelar hingga 20 hari dengan upacara besar-besaran yang
diakhiri dengan menyembelih beberapa ekor sapi.

Keterisolasian dan keterpencilan memaksa mereka menggunakan
pengobatan kuno. Semua jenis penyakit hanya mengandalkan balian,
karena umumnya tak ada mantri apalagi dokter di daerah itu. Ritual
balian turun temurun di bumi Kalimantan itu hingga kini masih bisa
disaksikan terutama di daerah yang belum memiliki alternatif
pengobatan kedokteran modern.

Balian dianggap mampu membangun hubungan dengan dunia roh.
Antropolog Marko Mahin mengatakan, balian percaya bahwa manusia
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu sistem yang tertata dan
semua penyakit yang ada adalah konsekuensi dari disharmoni dengan
tatanan kosmik.

"Penyakit ditafsirkan sebagai akibat perilaku yang tak harmoni
terhadap alam," katanya.
Karena itu terapi balian menekankan pada pemeliharaan
keseimbangan atau harmoni alam raya. Di dalam hubungan manusia, dan
di dalam hubungan dengan dunia roh.

Dalam pengobatan balian, pasien sebagai individu tidak terlalu
dipentingkan. Justru situasi sosial yang menjadi tolok diagnosa
penyakit dan lebih penting dibanding faktor-faktor fisik atau
psikologis. Pencarian sebab dan pengungkapan diagnosa serta
komunikasi intensif dengan pasien atau keluarga pasien menjadi lebih
menonjol dibanding terapi sebenarnya.

Terapi balian dalam beberapa kasus dianggap mengikuti pendekatan
psikosomatik (Yunani, psyche=jiwa dan soma= tubuh). Pendekatan ini
menggunakan teknik-teknik psikologis pada penyakit-penyakit fisik.
"Tujuannya berupaya mengintegrasikan kembali ingatan-ingatan
pasien ke dalam tatanan kosmik yang benar, yang tidak disharmoni,
itu inti usaha penyembuhan," kata Marko.

Psikoterapi modern
Ritual-ritual penyembuhan lebih untuk mengangkat pertentangan-
pertentangan dan perlawanan-perlawanan bawah sadar ke alam sadar. Di
alam sadar pertentangan dan perlawanan akan mendapat penyelesaian
baik oleh pasien maupun oleh keluarganya. Hubungan yang kuat antara
penyembuh dengan penderita menjelma menjadi kekuatan super
(supernatural) yang menjadi energi penyembuh.

Konsepsi seperti ini bisa sejajar dengan dinamika dasar
psikoterapi modern. Filsuf ilmu pengetahuan Fritjof Capra berpendapat
metode pengobatan tradisional itu disadari atau tidak telah
menggunakan teknik-teknik terapeutik semacam kebersamaan kelompok,
psikodrama, analisis mimpi, sugesti, hipnotis, pencitraan terbimbing,
dan terapi psikodelik.

Marko Mahin mengatakan, balian sudah mengenal teknik-teknik itu
selama berabad-abad yang lalu sebelum teknik-teknik itu secara ilmiah
ditemukan kembali oleh psikolog modern. Namun, tentu saja ada
perbedaan antara pendekatan psikoterapi modern dengan pendekatan kuno
balian.

Psikoterapi modern, menurut Fritjof Capra, membantu pasien dengan
membangun suatu mitos individu dengan elemen-elemen yang diambil dari
masa lampau pasien sementara pengobatan semacam balian memberi pasien
suatu mitos sosial yang tidak terbatas pada pengalaman-pengalaman
individu.

Konsep pengobatan balian tidak bekerja pada bawah sadar individu
pasien namun lebih dari itu dia bekerja pada bawah sadar sosial yang
kolektif dan dimiliki seluruh komunitas.

Pendekatan lebih holistik balian dalam memandang tubuh manusia
ini melampaui pendekatan mekanistik kedokteran biomedis yang
memandang tubuh manusia secara parsial. Secara tidak sengaja,
semangat pencarian pengobatan balian ini dapat mengajarkan tentang
dimensi sosial suatu penyakit yang selama ini diabaikan dan dilupakan
banyak kalangan.

Berabad-abad para penyembuh bekerja di dalam komunitasnya, terus
melakukan pencarian penyembuhan primitif itu. Berbekal kearifan
tradisional, mereka yakin penyakit merupakan konsekuensi dari
kekacauan manusia yang tidak hanya melibatkan tubuh melainkan juga
pikiran, gambaran dirinya, ketergantungan pada lingkungan fisik dan
sosial, serta hubungan antara manusia dengan kosmos.

Kekayaan teknik psikologis yang digunakan balian dengan
mengintegrasikan persoalan-persoalan fisik pasien ke dalam konteks
yang lebih luas itu mirip dengan terapi-terapi psikosimatik saat ini.
Kedokteran barat yang menganggap tubuh manusia sebagai mesin yang
bisa dianalisis menurut bagian-bagian terkecilnya tidak memiliki
pendekatan ini.

Fritjof Capra memaparkan, ilmu kedokteran modern sering
kehilangan pandangan tentang pasien sebagai manusia dan mereduksi
kesehatan menjadi keberfungsian mekanis. Ilmu kedokteran tak
mengilmiahkan fenomena penyembuh.

Psikoterapi balian hingga kini memang masih tertutupi misteri.
Namun, sudah banyak pasien yang disembuhkan. Karena itu, kalau sampai
kesehatan modern masuk ke pelosok, sistem pengobatan tradisional
tetap tidak boleh ditinggalkan. (KOMPAS/AMIR SODIKIN)

Keterangan Foto:

Pengobatan balian sedang berlangsung di Desa Tumbang Topus, Kecamatan
Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah. Di daerah
pedalaman hulu Sungai Barito ini pengobatan balian menjadi pilihan
utama masyarakat karena tiadanya alternatif lain. (KOMPAS/AMIR SODIKIN)

Jumat, 26 Maret 2010

Tari Tradisi dalam Pergeseran Fungsi

Dalam berbagai forum resmi maupun celetukan di kedai kopi, keprihatinan terhadap
hilangnya kesenian tradisi tak habis-habisnya dibicarakan orang. Kenapa orang
cenderung tidak lagi mudah menoleh untuk menikmati pertunjukan-pertunjukan kesenian
tradisi. Ditimpa lagi dengan gencarnya kelompok “lapisan atas” yang beberapa kali
terjadi mendatangkan kelompok-kelompok kesenian impor yang notabene sangat tidak
cocok dengan “selera” simpatisan seni tradisi, yaitu tokoh-tokoh tua dan kelompok
masyarakat menengah ke bawah (konon katanya memang begitu).
Seni tradisi dirampatkan sebagai seni yang monoton, ketinggalan jaman, dan tak
mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi globalisasi masa kini. Wah, kuno! Apa
benar kenyataannya seperti itu? Lalu bagaimana dengan kecenderungan para pelaku
seninya, dalam hal ini tari, menjawab “kenyataan ini” dalam proses kreatif yang terus
digelutinya sepanjang hayat.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan kita kali ini. Kata
kunci “tradisi” mesti dilihat dalam sudut pandang yang proporsional dan benar. Tradisi
bukanlah barang mati yang tak bisa berubah. Perubahannya terjadi seiring dengan derap
perubahan budaya masyarakat pendukungnya. Kalaupun secara tekstual ada
kecenderungan dari beberapa genre yang relatif tetap, maka ada pula kecenderungan lain
yang terkait dan menggiring kita pada fenomena baru, yaitu pada proses transfer
keterampilannya yang terjadi secara turun-temurun maupun daya hidup keseniannya yang
mampu bertahan dalam gempuran berbagai aspek kehidupan modern. Hal ini bisa kita
lihat pada salah satu pertunjukan tradisi Asia, Kabuki di Jepang misalnya, meski berkesan
“monoton” bagi penonton yang tak mengakrabinya, namun untuk mendapat karcis yang
harganya Rp. 300.000,- di Kabukiza Tokyo saja, sulitnya setengah mati. Hal ini
memperlihatkan bahwa Jepang yang sudah mengalami era industrialisasi secara unik
dalam versi Asia (dan kenyataannya malah hampir setiap produknya mampu mendunia),
tetap memberikan perhatiannya pada teater tradisi peninggalan nenek moyang mereka.
Mereka tidaklah menonton episode-episode menarik dalam konteks ceritanya sematamata,
namun akting “bintangnya” merupakan bagian pumpunan ‘fokus’ yang tak
terpisahkan dengan proses penghayatan mereka. “Bintang” ini benar-benar merupakan
bintang panggung yang memiliki kesetaraan dengan kemampuan akting atau kepenarian
dari para karuhun nya. Kemampuannya didapat dari kerja keras sepanjang hayat dalam
kemudahan hubungan jalur keluarga secara linier atau dalam hubungan alur darah
seketurunan; meski bukan tidak mungkin pula terjadi adanya kepemilikan talenta akting
atau kepenariannya berasal dari seseorang yang berdarah lain. Misalnya saja untuk tokoh
onagata ‘peran putri oleh putra’, “mega bintangnya” adalah seseorang yang
mendapatkan julukan Bando Tamasaburo. Dia ternyata bukanlah keturunan darah
Tamasaburo, namun kemampuannya dianggap setara dengan keluarga Tamasaburo,
khususnya kemampuannya dalam memerankan tokoh onagata. Kehidupannya bak
Michael Jackson yang dikelilingi dengan gemerlap kemewahan hidup, dengan
kepemilikan rumah maupun mobil mewah, pengawal dan pelayan yang selalu siap
bahkan untuk mengipasi dirinya bila kegerahan. Dia juga ternyata juga dikenal sebagai
pemeran yang sangat baik dalam drama modern seperti misalnya “Putri Macbeth “nya
Shakespeare atau “Idiot” dalam adaptasi novel Dostoevsky. Namun sebaliknya ia sangat
memukau khalayak dengan peran onagata pada Kabuki, terutama yang dikenal sangat
“melegenda” dalam adegan Musume Dojoji ‘Gadis Penari di Puri Doyo’. Tokoh ini
mengingatkan kita pada tokoh onagata di Indonesia yang memiliki julukan panggung
“Didiek Nini Thowok”. Bedanya, tokoh kita yang satu ini pumpunan garap tarinya
cenderung mengarah pada bentuk tari “humor”, sementara Bando Tamasaburo
kecenderungannya pada kehalusan olahan gerak wanita Jepang tempo doeloe.
Secara fungsional kehalusan dan kelembutan dalam tontonan Musumo Dojoji di atas,
memberikan tuntunan bagi masyarakat Jepang, bagaimana selayaknya seorang wanita itu
mesti bersikap, bertindak, serta berbicara. Muatan ini sangat penting bagi wanita Jepang
tempo doeloe, namun nampaknya juga lebih dirasakan pentingnya bagi wanita masa kini,
yang sudah kehilangan benang merah cara-cara bersikap, bertindak, dan berbicara, akibat
pergeseran paradigma kehidupan, baik dalam tata hubungan antar manusia, maupun
manusia dengan Tuhannya.
Meski muatan isinya sangat menarik dalam rentangan jaman yang tak habis-habisnya
dikaji, banyak pula orang Jepang sendiri yang belum pernah melihat Kabuki di setting
“aslinya” yang terkenal di Kabukiza di atas. Secara proporsional hal ini bisa kita
tempatkan fenomenanya setara dengan kenyataan yang serupa, bahwa banyak pula orang
Indonesia yang ternyata belum pernah melihat “wayang wong” dalam setting aslinya di
kraton.
Genre wayang ini kalau dirunut keberadaannya di masa lalu cukuplah menarik jika
dikaitkan dengan fungsi awalnya, menurut Soedarsono, sebagai bagian dari “ritus
kenegaraan”. Sekarang orang cenderung melihatnya sebagai hiburan, terutama pada
bentuk wayang panggung, yang pada masa lalu menampilkan banyak daya tariknya
melalui peran dan kepenarian tokoh-tokohnya yang melegenda. Namun karena transfer
keterampilannya tidak terlindung dalam jalinan darah (secara turun-temurun) serta
jaminan sosialnya secara transparan kelihatan kembang-kempis, maka tak lagi banyak
orang yang tertarik untuk melibatkan kehidupannya sebagai “anak wayang”. Kelompok
wayang wong yang ada sekarang pun nampak betul-betul harus berjuang sekuat tenaga
untuk menarik minat penggemarnya yang baru dengan diversifikasi sajiannya. Pada era
Roesman-Darsi-Soerono sebagai penari Bung Karno di masa lalu, ketiganya memang
pernah membuat kecintaan penggemarnya seperti layaknya generasi ABG yang
“berteriak-teriak” menjambut kelompok musiknya yang lagi “ngetop” secara histeris.
Dengan kata lain ada sekelompok penggemar yang selalu ikut menonton kemanapun trio
penari di atas tampil di atas pentas. Namun fenomena kenyataan hiburan seperti ini mesti
dicatat pula kondisinya, yaitu bahwa di masa lalu arus informasi dan medianya, TV dan
Radio, belumlah sedemikian gegap gempita seperti saat sekarang ini. Tokoh idola dari
berbagai lapis usia juga sudah bergeser banyak. Tari sebagai paket hiburan mesti juga
dilihat dalam beberapa faset lapisan umur penikmatnya. Jakarta sebagai pusat kegiatan
pemerintahan tak lagi menentukan gairah kota-kota lain di daerah untuk tetap
bersemangat menggelutinya. Bahkan mulai nampak adanya pergeseran fungsi tari tradisi
sebagai milik kolektif menjadi bahan pijakan yang memberikan kepemilikan individual
bagi penatanya.
Lalu bagaimana dengan kekhawatiran di atas. Kalau tradisi selalu berubah,
bagaimana dengan kecenderungan perubahannya yang mungkin akan menyesakkan para
penanggung jawab instansi terkait. Inilah yang mesti mengemuka secara alamiah,
sehingga perubahan yang ada masih memberikan benang merah yang kuat bagi anak
keturunan kita di masa yang akan datang. Secara proporsional kita mesti melihat
kenyataan yang ada terutama vitalitas tari secara kontekstual dalam dukungan masyarakat
penyangganya. Ungkapan “yook, kita dansa” memberikan makna kehidupan tari dalam
kelompok masyarakat elite di masa lalu, di mana orang-orang bisa saling berpelukan
menari dalam temaram lampu dan pilihan irama waltz. Atau sebaliknya “mari, kita
ajonjing!!” Ungkapan ini bisa saja lebih memberikan asosiasi antisipasi kinetis pada
irama ndangdut yang memberikan keleluasaan gerak bagi pelakunya. Dua contoh ini
memberikan perspektif fungsi tari sebagai bagian dari pelepasan jiwa, prestise, indikator
stratifikasi sosial, serta berbagai faset fungsi yang lainnya dalam upaya pernyataan diri
dalam konstelasi tata pergaulan seseorang di masyarakat. Di sisi lain banyak pula bentuk
aktivitas tari yang tidak bisa disejajarkan dengan aktivitas di atas. Tari yang salah satunya
pernah berperan sebagai bagian dari bentuk loyalitas total pada raja di masa lalu, sudah
mulai bergeser menjadi bahan ekspresi diri orang-perseorangan. Di sinilah pergeseran itu
terjadi. Sebelumnya tari merupakan bagian dari peristiwa ritus, dari individu sampai
dengan ritus kenegaraan, dewasa ini keberadaannya mulai menjadi titik sentral yang
menciptakan berbagai keterkaitan lain, misalnya saja, ekonomi, sosial, atau yang sematamata
sebagai pernyataan citra diri. Sebagai laku pernyataan citrawi dewasa ini banyak
diwujudkan dalam konteks pernyataan citra institusional, dalam berbagai peristiwa besar
yang juga menyedot dana yang tidak sedikit. Inilah isi kocek yang mampu terisi bagi
seorang pelaku dan atau pencipta tari yang mampu menggalang dan menciptakan tata
hubungan yang mesra dengan penyandang dana. Sepanjang idealisasi pernyataan citra
dirinya masih dipegang, pergeserannya pada pernyataan citra institusionalnya rasanya tak
akan berbias banyak. Sebab hal ini akan memberikan kecenderungan terwujudnya dialogi
yang bergeser dari yang semula vertikal/
instruksional, menjadi horisontal/dialektis. Anggitan yang kemudian terwujud akan lebih
memberikan daya tarik bagi penontonnya. Ini terjadi karena proses kreasinya yang
berjalan pada tempatnya dan bukan dikondisikan sebagaimana proses kreatif feodalistis
di masa lalu. Mudah-mudahan pergeseran ini memberikan alternatif “pembinaan
kesenian” dalam rel yang lebih alamiah dalam konteks perubahan tradisi yang tidak
“mengkhawatirkan”.

Rabu, 24 Maret 2010

Impresionisme

Impresionisme adalah suatu gerakan seni dari abad 19 yang dimulai dari Paris pada tahun 1860an. Nama ini awalnya dikutip dari lukisan Claude Monet."Impression, Sunrise" ("Impression, soleil levant"). Kritikus Louis Leroy menggunakan kata ini sebagai sindiran dalam artikelnya di Le Charivari.

Karakteristik utama lukisan impresionisme adalah kuatnya goresan kuas, warna-warna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, subjek-subjek lukisan yang tidak terlalu menonjol, dan sudut pandang yang tidak biasa.

Pengaruh impresionisme dalam seni rupa juga merambah ke bidang musik dan sastra.

Penjelasan

Seniman impresionisme pada awalnya terinspirasi oleh teori-teori Eugene Delacroix yang mulai merasakan ketidakpuasan terhadap perkembangan seni akademis pada masa itu yang terlalu berkonsentrasi kepada mahzab seni lukis klasik. Ia berpendapat bahwa lukisan tidak selamanya dibentuk dengan pengolahan garis secara berlebihan seperti dikembangkan oleh Ingres selama bertahun-tahun. Sebaliknya pengolahan bidang-bidang warna dengan penuh perhitungan akan menghasilkan bentuk lukisan yang tidak kalah menariknya.

Namun Delacroix sendiri bisa dianggap gagal melepaskan diri dari pengaruh pakem seni lukis akademi karena bagaimanapun lukisannya sendiri masih berkonsentrasi pada bentuk-bentuk secara ideal.

Kemudian beberapa pelukis secara radikal melanggar aturan-aturan akademis dalam pembuatan lukisan. Lukisan ini tidak lagi berkonsentrasi pada bentuk secara mendetail dengan mementingkan kontur, volume, dan garis. Juga meninggalkan pengamatan struktural bentuk suatu objek. Sebaliknya, suasana didapatkan dengan menangkap kesan (impresi) cahaya yang ditangkap sekilas oleh mata. Akibatnya bentuk objek menjadi lebih sederhana, tidak seperti lukisan naturalisme atau realisme.

Pada awalnya tidak hanya lukisan still life dan potret saja yang dibuat di dalam ruangan, tetapi juga pemandangan. Hal inilah yang kemudian mendorong seniman impresionis untuk menemukan bahwa ada kesan yang berbeda didapatkan jika lukisan dibuat di area terbuka dengan langsung mengamati objek yang dibuat. Mereka memakai goresan warna-warna pendek, pecah, dan sekaligus murni (dengan arti tidak disengajakan untuk dicampur di atas palet) untuk memberikan nyawa kepada lukisan. Penekanan lukisan kemudian bergeser kepada kesan keseluruhan daripada detail-detail objek tertentu.

Perkembangan selanjutnya dari impresionisme adalah penemuan bahwa yang lebih penting daripada teknik impresionisme sendiri adalah pembedaan dalam sudut pandang. Impresionisme sebenarnya adalah seni pergerakan, pose, dan komposisi dari permainan kesan cahaya yang dituangkan dalam warna-warna cerah dan bervariasi.

Pada akhir abad 19, masyarakat mulai mempercayai bahwa impresionisme adalah cara pandang yang jernih dan jujur terhadap kehidupan, meskipun secara artisitik bukanlah pendekatan yang benar dalam pembuatan karya.

Puncak gerakan seni impresionisme di Perancis terjadi hampir bersamaan dengan di negara lain, antara lain di Italia dengan pelukis Macchiaioli, dan Amerika Serikat dengan pelukis Winslow Homer.

Impresionisme menjadi pelopor berkembangnya aliran-aliran seni modern lain seperti Post-Impresionisme, Fauvisme, and Kubisme.

Sejarah

Dalam sejarah perubahan Paris oleh Napoleon III, Académie des beaux-arts mendominasi kegiatan seni di abad 19. Akademi ini adalah penguasa standarisasi tradisional lukisan-lukisan Perancis, termasuk dalam hal tema dan gaya. Tema historis, religius, dan potret sangat dihargai pada saat itu, sementara tema pemandangan dan still life hanya dipandang sebelah mata. Académie des beaux-arts juga menginginkan setiap lukisan memperhatikan setiap detail dan finishing yang sempurna, dan jika bisa mendekati kemiripan fotografis. Semua goresan kuas sangat diperhatikan dengan mempertimbangkan bahwa hal tersebut adalah cerminan kepribadian, emosi, dan teknik yang dimiliki seorang pelukis. Warna-warna gelap dan suram lebih dihargai.

Akademi mengadakan pameran tahunan Salon de Paris, dan pelukis yang terpilih akan memenangkan sejumlah hadiah dan penugasan yang kemudian akan menjamin keberlangsungan karya-karya pelukis tersebut. Secara tidak langsung, hal inilah yang mendorong terbentuknya standarisasi lukisan yang tercermin dari pilihan para juri.

Beberapa pelukis muda kemudian semakin cenderung memakai warna-warna cerah dan terang dibanding generasi sebelumnya, dengan maksud mengembangka gaya Realisme Gustave Courbet dan kemudian mendapat pengaruh Kelompok Barbizon yang berusaha membiaakan diri melukis alam secara jujur di tempat yang dianggap indah. Mereka juga lebih memilih tema pemandangan dan kehidupan sehari-hari dibanding cerita sejarah.

Baik kelompok asli Barbizon maupun calon-calon pelukis neoklasik yang kemudian bergabung ke dalamnya atau terinspirasi olehnya setiap tahun dengan gigih mengirimkan karyanya ke pameran Salon de Paris, dan terus menerus ditolak oleh juri. Kelompok pelukis muda ini antara lain Claude Monet, Pierre Auguste Renoir, Alfred Sisley, dan Frédéric Bazille yang sebelumnya belajar kepada Charles Gleyre, sering melukis bersama, dan menjalin persahabatan yang erat.

Pada tahun 1863, para juri menolak The Luncheon on the Grass (Le déjeuner sur l'herbe) karya Manet yang menampilkan wanita telanjang yang dikelilingi dua pria dalam sebuah piknik. Juri beranggapan bahwa ketelanjangan bisa diterima dalam lukisan historis dan religius, tetapi menampilkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang melanggar norma. Manet merasa sangat kecewa dengan penolakan ini yang sekaligus menimbulkan polemik di kalangan seniman. Meskipun Manet tidak secara langsung menyebut dirinya sebagai seniman neoklasik, ia sebenarnya terlibat sebagai pemimpin dalam diskusi di Café Guerbois, di mana seniman-seniman neoklasik berkumpul, dan mengembangkan pengaruh neoklasik.

Setelah memperhatikan karya-larya yang ditolak pada tahun 1863, Kaisar Napoleon III memutuskan bahwa masyarakat umum berhak menilai sendiri karya-karya tersebut, dan mengadakan Salon des Refusés (Salon Penolakan). Kegiatan ini berlangsung bertahun-tahun, hingga kemudian pada April 1874 seniman-seniman impresionisme mendapatkan kesempatan menggelar pamerannya sendiri.

Namun kaum neoklasikme kemudian tetap tidak mendapatkan kepuasan dengan fasilitas ini. Mereka kemudian merencanakan pameran yang terpisah dengan Salon. Namun ide ini ditolak oleh Manet, sekalipun ia sendiri termasuk orang yang paling berpengaruh di kelompok ini karena berpendapat bahwa perjuangan kaum neoklasikme justru seharusnya dimulai dengan mendobrak tembok penjurian di Salon. Morisott, salah satu dari sedikit wanita dari kelompok Café Guerbois memutuskan untuk turut serta dalam pameran, sekalipun beberapa karyanya sudah siap dipamerkan di Salon.

Setelah menyaksikan pameran tersebut, Louis Leroy menulis review yang tidak terlalu bersahabat di surat kabar Le Charivari. Leroy menyatakan bahwa [ Sunrise] (soleil levant) oleh Claude Monet tidak lebih dari sekedar sketsa kasar dan belum bisa digolongkan ke dalam karya yang bisa dikategorikan telah diselesaikan.

Istilah "neoklasik" menjadi sangat populer di kalangan seniman, tidak hanya sebagai sindiran, tetapi kadang juga sebagai "lencana kehormatan". Pemberontakan dan kemandirian menjadi jiwa utama dari gerakan ini, meskipun teknik masing-masing pelukis bisa saja berbeda. Monet, Sisley, Berthe Morisot dan Camille Pissarro bisa digolongkan neoklasik. Sementara Degas menolak pakem neoklasikme yang sudah ada dengan karya-karya drawing dan grafisnya. Renoir berbalik menentang neoklasik sejak 1880an, dan tidak pernah kembali lagi kepada aliran ini.

Gelora neoklasik lenyap seiring dengan perpecahan di antara penganutnya. Terutama pada pameran terakhir di mana seniman muda seperti Seurat mengemukakan teori-teori baru dalam karya neoklasik dengan teknik pointillismenya. Akhirnya masing-masing anggota memasuki babak baru dengan melepaskan diri dari teori ideal neoklasik dengan memasuki masa neoklasikme.

Pengaruh teknologi dan sains

Secara kebetulan, pada masa keemasan impresionisme, ditemukan pula penggunaan teknik fotografi. Pada awalnya fotografi dianggap bisa memusnahkan keberadaan seni lukis. Namun tujuan utama impresionisme yang menangkap kesan sesaat justru membuat fotografi menjadi alat bantu utama yang sangat bermanfaat. Pelukis menjadi bisa mengeksplorasi hal-hal yang biasanya hanya terjadi sesaat, seperti langkah kuda saat berlari, suasana kota yang dinamis.

Selain itu teori warna juga sangat berkembang dan membantu pengembangan aliran impresionisme.

Pengaruh terhadap seni rupa modern

Ada banyak hal yang menyebabkan impresionisme bisa dianggap sebagai pelopor gerakan seni rupa modern lain. Antara lain berhasil mendobrak keterpakuan seni terhadap subjek yang akan dilukis. Hal ini bisa dilihat dari contoh karya Manet yang menganggap moral bukanlah sesuatu yang harus terlalu dipertimbangkan di dalam seni rupa, sebab inti dari lukisan adalah lukisan itu sendiri, bukan pesan yang akan disampaikannya. tetapi bukan berarti hal itu membuat dunia lukis menjadi dunia yang cabul, sebab kevulgaran itu sendiri bukanlah tujuan pelukis impresionisme, hanya saja jika ketelanjangan diperlukan, katakanlah untuk membantu komposisi, maka hal itu memang harus dilukiskan.

Selain itu impresionisme juga mempelopori penerapan kembali teori-teori sains terbaru dalam dunia seni lukis. Antara lain pencampuran warna secara optis yang pada masa itu diperkenalkan oleh Chevreul. Hampir seluruh contoh karya impresionisme memperlihatkan kesadaran pelukisnya bahwa warna-warna, meskipun tidak dicampurkan dengan palet, namun saat didekatkan akan menghasilkan ilusi warna tertentu. Misalnya kuning yang didekatkan dengan hijau akan membuat warna kuning tersebut seolah mendekati warna hijau. Sebaliknya warna kuning jika didekatkan dengan warna ungu akan membuat warna tersebut semakin menyala dan memperlihatkan identitas kuningnya secara optis.

Impresionisme juga membuat penggunaaan warna hitam di dalam lukisan berkurang jauh. Sebab seniman kemudian menyadari bahwa bagaimanapun hitam bukanlah warna. Secara visual adalah mustahil bagi seseorang untuk mendapatkan suasana dengan warna hitam.

Ciri khas

  • Goresan kuas pendek dan tebal dengan gaya mirip sketsa, untuk memberikan kemudahan pelukis menangkap esensi subjek daripada detailnya.
  • Warna didapat dengan sesedikit mungkin pencampuran pigmen cat yang digunakan. Diharapkan warna tercampur secara optis oleh retina.
  • Bayangan dibuat dengan mencampurkan warna komplementer (Hitam tidak digunakan sebagai bayangan).
  • Cat tidak ditunggu kering untuk ditimpa dengan warna berikutnya.
  • Pengolahan sifat transparansi cat dihindari.
  • Meneliti sedetail mungkin sifat pantulan cahaya dari suatu objek untuk kemudian diterapkan di dalam lukisan.
  • Dikerjakan di luar ruangan (en plein air)

Sebenarnya ciri ini hampir bisa ditemui di aliran-aliran lain, tetapi hanya impresionisme lah yang memiliki ciri tersebut secara keseluruhan dengan sengaja.

Post-Impresionisme

neoklasik adalah suatu masa yang masih dipengaruhi sisa-sisa neoklasikme. Pada awal 1880 pelukis mulai mengeksplorasi sisi lain dari penggunaan warna, pola, bentuk, dan garis yang sedikit berlawanan dari pencapaian neoklasikme. Pelukis pada era ini contohnya adalah Vincent Van Gogh, Paul Gauguin, Georges Seurat dan Henri de Toulouse-Lautrec. Camille Pissarro, yang sebelumnya adalah seniman neoklasik kemudian mengembangkan gaya pointilisme. Monet meninggalkan kewajiban melukis di luar ruangan. Paul Cézanne, meskipun telah tiga kali terlibat dalam pameran neoklasik, kemudian mengembangkan gayanya tersendiri.

Karya seluruh seniman ini meskipun tidak lagi menganut aliran neoklasikme namun masih mengandung unsur-unsur dasarnya.



Sumber : Wikipedia

Selasa, 23 Maret 2010

Jadwal Makanan Bayi

Umur Macam Makanan Durasi Pemberian Dalam Sehari Waktu Pemberian

0-6

ASI Ekslusif

6 hingga 7

Diberikan setiap interval 2-3 jam. Lebih baik disesuaikan dengan kebutuhan bayi.

Pukul : 06.00 / 09.00 / 12.00 / 15.00 / 18.00 / 21.00 / 24.00

6 - 8

ASI

4 hingga 5

Pukul : 06.00 / 10.00 / 14.00 / 18.00 / 21.00

Buah

1

Pukul : 16.00

Bubur Susu

1

Pukul : 08.00

Nasi Tim Saring

1

Pukul : 12.00

8 - 10

ASI

3 hingga 4

Pukul : 06.00 / 10.00 / 14.00 / 18.00 / 21.00

Buah

1

Pukul : 16.00

Bubur Susu

1

Pukul : 08.00

Nasi Tim Dihaluskan

1

Pukul : 12.00

10 - 12

ASI

3 hingga 4

Pukul : 06.00 / 10.00 / 14.00 / 18.00 / 21.00

Buah

1

Pukul : 16.00

Nasi Tim Dihaluskan

3

Pukul : 08.00 / 12.00 / 18.00

> 12

ASI

2 hingga 3

Pukul : 06.00 / 10.00 / 14.00 / 18.00 / 21.00

Buah

1

Pukul : 16.00

Nasi Tim Dihaluskan

3

Pukul : 08.00 / 12.00 / 18.00

Makanan Kecil (Biskuit, bubur kacang hijau, dll)

1

Pukul : 10.00

Untuk masalah jadwal pemberian makanan, pada umumnya diberikan tiap 3 jam sekali. Namun dalam suatu kasus, terdapat juga bayi yang sudah lapar dalam interval 2 jam. Hal tersebut normal, karena setiap bayi memiliki keunikan tersendiri.

Namun pada umumnya lambung tubuh manusia termasuk bayi akan mengalami pengosongan dalam interval 3 jam. Oleh karena itu penting halnya jika terdapat kasus bayi yang mengalami tidur lebih dari 4 jam, bayi tersebut haruslah dibangunkan dan diberikan makanan.[](DA)

Jenis - Jenis Makanan Bayi

Menentukan Makanan yang Cocok untuk Bayi.

Banyak ibu muda, khususnya yang baru pertama kali mengalami memiliki buah hati, mengalami kerancuan dan kebingungan dalam memilih makanan bayi yang paling tepat dan bagaimana cara yang benar pemberiannya. Tidak sedikit ibu muda yang telah melakukan konsultasi malah semakin bingung, karena jawaban dari masing-masing pihak berbeda.

Makanan, selain menjadi sumber bahan bakar energi pada tubuh manusia, seperti kita ketahui, makanan juga sebagai faktor penunjang untuk tumbuh kembang tubuh anak, pada khususnya bayi. Dimana siklus pertumbuhan bayi sangatlah pesat.

Dari paska lahir, berat bayi yang mencapai rata-rata 3 kg, dalam kurun waktu satu tahun pertumbuhannya bisa mencapai sekitar 9 kg. Oleh karena itu, sangatlah penting pemberian makanan pada bayi harus memenuhi syarat kebutuhan gizi.

Pada prinsipnya, bayi memerlukan pemberian makanan secara bertahap. Dari tahap awal yang dimulai dari yang cair, lalu setengah padat, kemudian padat dan dilanjutkan makanan biasa berupa nasi dan lauk pauk. Tidak ketinggalan asupan air, vitamin, serta mineral untuk bayi haruslah cukup,

Walau demikian, kondisi bayi menentukan kesiapan menerima asupan makanan. Karena pada prakteknya pemberian makanan bersifat individual. Belum tentu semua bayi usia 4 bulan siap diberi bubur susu.

Kondisi fisik bayi juga menentukan kesiapan menerima jenis asupan makanan. Kondisi fisik bayi meliputi berat dan tinggi badannya. Dimana dalam hal ini dokter anak-lah yang memiliki kompetensi khusus yang menilai.

Oleh karena itu, penting sekali anak dipantau tumbuh kembangnya tiap bulan dari aspek keseluruhan. Dari tinggi badan bayi, berat badan bayi, jadwal pemberian imunisasi dan metode asupan pola makannya.

Sesuaikan perkembangan fisik bayi dengan pola makannya, selama masih dalam pemantauan orangtua dan dokter anak, bayi akan mencapai proses tumbuh kembang secara optimal. Beberapa hal yang penting untuk diingat, seberapa banyak dan seberapa sering bayi makan, semuanya tergantung pada usia, tingkat pertumbuhan, berat badan, dan metabolisme. Dan semua itu tak sama antara satu bayi dengan bayi lainnya.

ASI
Bagaimanapun yang terpenting, air susu ibu (ASI) adalah asupan terpenting pada bayi. ASI, selain mengandung semua zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi, ASI juga mengandung macam-macam substansi anti-infeksi yang mampu melindungi bayi terhadap berbagai infeksi.

Pada masa usia bayi melewati 4 bulan, bayi memerlukan makanan tambahan seperti bubur susu, biskuit dan buah-buahan. Kemudian bubur saring (nasi tim yang dihaluskan) mulai usia 6 bulan dan di usia 9 bulan sudah bisa diberikan nasi tim.

Susu Formula
Jika Anda mengkombinasikan ASI dengan susu formula, sebaiknya pilih susu formula yang komposisinya paling mirip ASI. Mintalah petunjuk dokter. Begitu pun cara meramu formula dan berapa banyak formula yang akan diberikan pada bayi Anda.

Ada berbagai keadaan yang bisa membuat menyusui tidak praktis atau tidak dianjurkan. Ibu-ibu yang tidak bisa menyusui tidak boleh merasa tidak cakap atau bersalah. Sebaiknya susu formula diberikan setelah berkonsultasi dengan dokter dan para profesional ASI.

Buah-buahan
Selain menjadi sumber vitamin dan mineral, buah-buahan juga menjadi sumber serat yang bagus. Menginjak usia 6-8 bulan, bayi bisa diberikan buah-buahan seperti jeruk, pepaya, pisang, dan tomat. Buah bisa diberikan dalam bentuk jus.

Khusus tomat, rebuslah lebih dulu setelah dicuci bersih, lalu disaring untuk diambil airnya. Atau, si buah hati bisa diperkenalkan ‘finger foods’, yaitu snack yang dapat dimakan oleh bayi sendiri (tidak perlu disuapi), seperti buah yang dipotong-potong ukuran kecil sehingga bayi dapat makan sendiri. Makanan halus ini diberikan 2-3x/hari.

Buah-buahan lainnya seperti melon, alpukat, semangka, pir, dan lainnya dapat diberikan mulai usia 6 bulan. Namun hindari buah-buahan yang bergetah. Karena dapat menimbulkan diare seperti sawo, nenas, durian, mangga dan lainnya.

Pada tahap awal, berikanlah kira-kira 30-50 ml air buah sebagai pengenalan pada kondisi pencernaan bayi, pantau reaksi yang timbul. Jika setelah minum air jeruk, timbuil diare, gantilah dengan buah lain pada pemberian berikutnya yang lebih cocok. Namun satu hal terpenting, cuci bersih setiap buah sebelum diberikan pada bayi.

Makanan Padat
Menginjak usia 4-5 bulan bayi sudah bisa diberikan makanan pada. Makanan padat pertama yang diperkenalkan hendaknya masih dalam bentuk lunak agar mudah dicerna bayi, bisa berupa dalam bentuk bubur susu.

Bubur susu biasanya terbuat dari bahan tepung serelia seperti beras, maizena, terigu atau havermout, ditambah susu dan gula. Pembuatan bubur susu bisa dilakukan dengan dibuat sendiri atau membeli bubur susu instan. Namun penting diingat, jika membeli bubur instant, jangan pernah lupa untuk memeriksa tanggal kadaluarsanya.

Memasuki usia 6 bulan bayi dapat diperkenalkan pada makanan padat berikutnya, seperti halnya nasi tim. Nasi tim biasanya terdiri dari bubur beras ditambah lauk berprotein hewani maupun nabati ditambah sayuran seperti wortel dan bayam.

Ada baiknya nasi tim haruslah melalui proses penghalusan terlebih dahulu, bisa dilakukan dengan alat blender sebelum diberikan pada bayi. Setelah bayi menginjak usia diatas 10 bulan, nasi tim tidak perlu dihaluskan lagi.

Makanan Selingan
Makanan selingan bagi bayi biasanya hadir berupa dalam bentuk biskuit yang memang dibuat khusus untuk bayi. Perkenalan makanan selingan bisa diberikan disaat bayi menginjak usia 4 bulan.

Biskuit bisa dicampur air matang ataupun susu. Namun jika bayi sudah dapat duduk, berikanlah biskuit dalam bentuk kepingan. Hal ini lebih baik karena dapat melatih melatih keterampilan jari-jemari tangannya (motorik halus) serta merangsang pertumbuhan gigi pada bayi.

Setelah usia 6 bulan, bayi sudah bisa diberikan makanan lain seperti roti, agar-agar, puding, bubur kacang hijau, dan lainnya.

Untuk masalah jadwal pemberian makanan, pada umumnya diberikan tiap 3 jam sekali. Namun dalam suatu kasus, terdapat juga bayi yang sudah lapar dalam interval 2 jam. Hal tersebut normal, karena setiap bayi memiliki keunikan tersendiri.

Namun pada umumnya lambung tubuh manusia termasuk bayi akan mengalami pengosongan dalam interval 3 jam. Oleh karena itu penting halnya jika terdapat kasus bayi yang mengalami tidur lebih dari 4 jam, bayi tersebut haruslah dibangunkan dan diberikan makanan.[](DA)

PENGGOLONGAN ALAT MUSIK BERDASARKAN SUMBER BUNYINYA

Alat musik tradisional adalah musik atau seni suara yang berasal dari berbagai daerah, dalam hal ini di Indonesia. Sebagai bagian dari kebudayaan, musik daerah diwariskan secara turun temurun, dan proses pewarisan musik ini biasanya dilakukan secara lisan.

Alat musik daerah yang terdapat di Indonesia bermacam - macam bentuk, bahan, dan fungsinya. Yang ingin dibahas kali ini adalah penggolongan alat musik berdasarkan bunyinya.

Charles Victor Mahillon, Curt Sach, dan C. M. Von Hombostel menggolongkan alat musik berdasarkan sumber bunyinya. Mereka membedakan musik kedalam beberapa kategori, antara lain : Membranofon (alat musik yang sumber bunyinya dari udara atau aero), ideofon (alat musik yang sumber bunyinya berasal dari getaran badan alat itu sendiri), dan yang terakhir aalah kordofon (alat musik yang sumber bunyinya berupa cord/tali/senar/dawai yang bergetar).

a. Membranofon.

Salah satu alat musik tradisional yang masuk dalam kategori membranofon adalah marawis/marwas. Marawis adalah alat musik berlatar islam - Arab yang masih pouler hingga kini. Alat musik ini dibawa pertama kali oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman eberapa abad yang lalu. Marawis terbuat dari kulit dan mempunyai resonasi. Cara memainkan Marawis adalah dengan cara dipukul, dan tinggi rendahnya nada marawis tergantung pada besar kecilnya alat (resonatik).

b. Aerofon.

Alat musik tradisional yang masuk dalam kategori ini adalah Seruling. Terbuat dari buluh, cara memainkannya dengan ditiup. Akan tetapi cara meniup seruling bambu haruslah tepat agar mengeluarkan bunyi yang baik. Pada seruling terdapat lubang - lubang yang berperan sebagai penentu tinggi rendahnya nada.

c. Ideofon.

Gong adalah alat musik ideofon. Gong berbentuk bundaran yang ditengahnya terdapat sebuah bundaran lagi dan tepat di bundaran tersebut jika dipukul akan menghasilkan suara yang mendengung. Gong adalah alat musik suku dayak yang dianggap sebagai peralatan sangat penting. Di berbagai upacara adat, gong selalu tampil didalamnya, baik sebagai alat berfungsi musikal, maupun sebagai alat yang memiliki fungsi sosial. Dalam fungsi sosial, selain sebagai alat komunikasi, gong juga digunakan sebagai sarana dalam hukum adat. Cara memainkan gong dengan cara dipukul, dan tinggi rendah nadanya tergantung dari bahan gong itu sendiri.

d. Kordofon

Gambus adalah alat musik tradisional kordofon. Cara memainkannya dipetik, dan memiliki fungsi sebagai pengiring tarian zapin dan nyanyian pada waktu diselenggarakannya syukuran. Alat musik ini sangat identik dengan kesenianyang b ernafaskan islam. Gambus paling sedikit terdiri atas 3 senar, dan paling banyak 12 senar. Tinggi rendahnya nada tergantung jenis dawai.


Sumber :

1. Tyas, Hartaris Andijaning. Seni Musik sMA 1. Penerbit Erlangga. Semarang : 2006

2. Sumardi. Apresiasi Seni Tari dan Musik 2. Penerbit Yudistira. akarta : 2007

3. Forum.dudung.net

4. ms.wikipedia.org/wiki/seruling

Senin, 22 Maret 2010

Estetika

Estetika sering dikaitkan dengan seni, tapi keindahan yang kita rasakan diluar senipun sebenarnya adalah estetika. Dan perlu kita ingat, seni adalah keindahan yang diciptakan oleh manusia, sedangkan ciptaan Tuhan seperti keindahan alam ukanlah karya seni. Namun, menurut cakupannya sesungguhnya orang harus membedakan antara keindahan sebagai sesuatu yang abstrak dan sebuah benda tertentu yang indah. Untuk ini dalam bahasa inggeris sering digunakan istilah beauty (keindahan - keindahan yang abstrak), dan beautyfull (sebuah benda yang indah), dan terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian, yaitu :

a. Keindahan dalam arti luas. Meliputi kendahan seni, alam, moral, dan intelektual.
b. Keindahan dalam arti estetika murni. Menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan sesuatu yang diserapnya.
c. Keindahan benda - benda yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan bentuk dan warna secara kasat mata.


Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. kualita yang paling sering disebut antara lain :
  • Kesatuan (unity), yang berarti suatu benda dikatakan memiliki nilai estetis harus merupakan kesatuan dari unsur - unsur pembentukan yang baik dan sempurna.
  • Kerumitan (complexity) yang berarti suatu yang estetis pada dasarnya tidaklah sederhana, dalam pengertian mengandung unsur - unsur yang berpadu dengan kerumitan tertentu seperti salling bertentangan, saling berlawanan, saling menyeimbangkan, dsb.
  • Kesungguhan (intensity), yang berarti nilai estetis bukalah sesuatu yang kosong, melainkan memiliki kualitas atau nilai tertentu yang menonjol dalam penampilannya. Nilai tersebut bisa ersifat lembut dan kasar, gembira dan duka, suram dan ceria, dan sebagainya yang ditampilkan secara bersungguh - sungguh.

Sedangkan Imanuel Kant meninjau keindahan dari dua segi, yaitu :
  1. Subjektif (keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa disangkutpautkan dengan kegunaan praktis dapat mendatangkan rasa senang pada si penghayat).
  2. Objektif (keindahan adalah keserasian suau objek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi fungsi)
Penganut teori objektif selalu menempatkan rasa estetis didalam benda yang dinikmatinya sehingga ada alasan mengapa seseorang menyukai benda tersebu. Sebaliknya, penganut teori subjektif selalu meletakkan keindahan didalam diri orang yang menikmati benda seni sehingga ia tidak dapat memberi alasan logis kenapa menyukai suatu benda.

Suatu karya seni adalah ungkapan perasaan dari penciptanya, begitu juga yang disentuh karya seni pada diri pengamatnya adalah perasaan sehingga karya seni kurang tepat jika dinilai berdasarkan pertimbangan akal manusia. Karena penilaian dengan pertimbangan akal hanya akan menyentuh kulit luarnya saja. Penilaian terhadap suatu karya seni harus berdasarkan perasaan estetis serta ukuran nilai estetis. Juga kurang tepat jika menghkum karya seni berdasarkan ukuran - ukuran kesusilaan, keagamaan, atau pertimbangan lainnya yang non estetis.

Dalam estetika modern orang lebih anyak berbicara tentang seni dan pengalaman astetik karena ini bukanlah pengertian abstrak, melainkan gejala yang konkrit dan dapat ditelaah dengan pengamatan empiris serta pengamatan sistematis.

Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai negatif. Hal ini menunjukan bahwa nilai negatif itu ialah kejelekan (uglines). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri - ciri yang sangat bertentangan epenuhnya dengan kualita yang indah itu.

Dalam kecendrungan seni dewasa ini keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian seniman menganggap lebih penting menggonangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan bathin itu dapat terjadi melalui keindahan dan kejlekan. Oleh karen itu hkini keindahan dianggap sebagai nilai estetis yang positif dan negatif. Nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagain kemampuan suatu benda untuk menimmbulkan pengalaman estetis.



Sumber :

1. Rasjoyo, Pendidikan Seni Rua, Penerbit Erlangga, Pakalongan, 1996
2. Prof. R. M. Soedarsono, PH. D, Pengantar Apresiasi Seni, Balai Pustaka, 1992
3. Dharsono Sony Kartika, Nanang Ganda Perwira, Rekayasa Sains, Bandung, 2004