Sabtu, 27 Maret 2010

Pengobatan Baliant pada masyarakat Kalimantan Tengah

Pengobatan Balian di Kalimantan Tengah, Kini Menjadi FENOMENA PSIKOTERAPI PEDALAMAN. Ritual-ritual balian itu berusaha menembus ruang bawah sadar pasien, mempengaruhi pikiran pasien untuk membebaskannya dari rasa takut. Kekuatan pasien dirangsang, dijadikan penyembuh alami. Tidak
hanya itu, balian berupaya mengintegrasikan ingatan-ingatan pasien
ke dalam tatanan kosmik, memperbaiki disharmoni. Mereka percaya
disharmoni adalah sumber penyakit.

Asap kemenyan terus mengepul di ruangan berukuran 5 x 4 meter
persegi. Perlahan balian perempuan Indu As (40), mengasapi bojah
tawur (Dayak Ot Dnum: beras tawur). Komat-kamit sebentar, sang balian
menuturkan asal mula beras sambil memohon kepada sang beras. Balian
yakin beras itu bisa menjadi duta yang akan mengajukan permohonan
kepada para sangiang atau leluhur untuk mengobati.

Malam itu Indu As memang sedang mengobati istri Zailani (26),
warga Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito Murung Raya, Kalimantan
Tengah. Pasien dan balian berada di tengah ruangan sementara belasan
warga menyaksikan upacara itu.

"Beras itu akan berubah menjadi tujuh perempuan cantik, siap
mencari pengobatan ke seluruh penjuru mata angin," kata Marko Mahin,
antropolog agama dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan
Evangelis.

Enam perempuan pergi ke sana kemari mencari leluhur atau sangiang
yang akan mengobati sementara satu putri tetap tinggal di tempat.
Indu As yang menjadi perantara bisa saja berbahasa Dayak Ot
Danum, Dayak Ngaju, Dayak Punan, atau Dayak Murung, bisa juga Banjar
tergantung leluhur yang masuk ke tubuhnya.

"Balian sebenarnya tidak tahu banyak bahasa. Namun, karena dia
dimasuki roh lain dia bisa bicara sesuai dengan bahasa roh yang
masuk," kata Lukas, warga Tumbang Topus.

Roh telah memasuki tubuh Indu As. Tangannya terlihat menyisir
rambut panjang. Roh yang masuk ke tubuh balian itu katanya memang
seorang nenek berambut panjang. Tangannya kemudian mengambil batu
kait yang telah disiapkan untuk memulai mendiagnosa penyakit.

Terjadi sebuah dialog dalam bahasa Ot Danum, "Narai gawin ketu
toh (apa kegiatan kalian ini)," tanya leluhur itu melalui mulut
basie, sebutan untuk balian di hulu Sungai Barito, Kalimantan Tengah.
"Ikei handak manantamba (kami ingin diobati)," jawab sang warga
yang berada di sekitar pengobatan.

"Narai kahabae? (Apa sakitnya?)," tanya basie.
"Ie toh pehe usoke tuntang bahali nahaseng (ia sakit dada dan
sulit bernapas)," jawabnya.

"Laku gula bahandang esu (minta gula merah cucu)," minta nenek
itu yang kemudian disodori gula merah.
Nenek yang masuk ke dalam tubuh balian mendeteksi penyakit dengan
gula merah dan mengambil penyakit menggunakan sisir. Tiap leluhur
yang masuk memiliki metode pengobatan berbeda, ada yang menggunakan
sisir, batu, air, tepung tawar, juga darah ayam.

Pengobatan pedalaman
Ritual balian hingga kini masih menjadi alternatif utama di
pedalaman Kalimantan. Tiap provinsi memiliki variasi ritual yang
berbeda namun intinyahampir sama.

Di komunitas Dayak Meratus Kalimantan Selatan, pengobatan balian
dilakukan bersamaan upacara selamatan atau baaruh.
Di Kalimantan Tengah, upacara balian bisa digelar kecil-kecilan
seperti yang dilakukan pada keluarga Zailani di atas. Di Kalteng
basie perempuan merupakan fenomena langka karena saat ini didominasi
laki-laki.

Di Kalimantan Timur, balian perempuan masih banyak terlihat dalam
setiap upacara. Upacara balian di Kaltim, seperti pada komunitas
Dayak Benuaq di rumah panjang Papas Eheng Barong Tongkok Kabupaten
Kutai Barat, digelar hingga 20 hari dengan upacara besar-besaran yang
diakhiri dengan menyembelih beberapa ekor sapi.

Keterisolasian dan keterpencilan memaksa mereka menggunakan
pengobatan kuno. Semua jenis penyakit hanya mengandalkan balian,
karena umumnya tak ada mantri apalagi dokter di daerah itu. Ritual
balian turun temurun di bumi Kalimantan itu hingga kini masih bisa
disaksikan terutama di daerah yang belum memiliki alternatif
pengobatan kedokteran modern.

Balian dianggap mampu membangun hubungan dengan dunia roh.
Antropolog Marko Mahin mengatakan, balian percaya bahwa manusia
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu sistem yang tertata dan
semua penyakit yang ada adalah konsekuensi dari disharmoni dengan
tatanan kosmik.

"Penyakit ditafsirkan sebagai akibat perilaku yang tak harmoni
terhadap alam," katanya.
Karena itu terapi balian menekankan pada pemeliharaan
keseimbangan atau harmoni alam raya. Di dalam hubungan manusia, dan
di dalam hubungan dengan dunia roh.

Dalam pengobatan balian, pasien sebagai individu tidak terlalu
dipentingkan. Justru situasi sosial yang menjadi tolok diagnosa
penyakit dan lebih penting dibanding faktor-faktor fisik atau
psikologis. Pencarian sebab dan pengungkapan diagnosa serta
komunikasi intensif dengan pasien atau keluarga pasien menjadi lebih
menonjol dibanding terapi sebenarnya.

Terapi balian dalam beberapa kasus dianggap mengikuti pendekatan
psikosomatik (Yunani, psyche=jiwa dan soma= tubuh). Pendekatan ini
menggunakan teknik-teknik psikologis pada penyakit-penyakit fisik.
"Tujuannya berupaya mengintegrasikan kembali ingatan-ingatan
pasien ke dalam tatanan kosmik yang benar, yang tidak disharmoni,
itu inti usaha penyembuhan," kata Marko.

Psikoterapi modern
Ritual-ritual penyembuhan lebih untuk mengangkat pertentangan-
pertentangan dan perlawanan-perlawanan bawah sadar ke alam sadar. Di
alam sadar pertentangan dan perlawanan akan mendapat penyelesaian
baik oleh pasien maupun oleh keluarganya. Hubungan yang kuat antara
penyembuh dengan penderita menjelma menjadi kekuatan super
(supernatural) yang menjadi energi penyembuh.

Konsepsi seperti ini bisa sejajar dengan dinamika dasar
psikoterapi modern. Filsuf ilmu pengetahuan Fritjof Capra berpendapat
metode pengobatan tradisional itu disadari atau tidak telah
menggunakan teknik-teknik terapeutik semacam kebersamaan kelompok,
psikodrama, analisis mimpi, sugesti, hipnotis, pencitraan terbimbing,
dan terapi psikodelik.

Marko Mahin mengatakan, balian sudah mengenal teknik-teknik itu
selama berabad-abad yang lalu sebelum teknik-teknik itu secara ilmiah
ditemukan kembali oleh psikolog modern. Namun, tentu saja ada
perbedaan antara pendekatan psikoterapi modern dengan pendekatan kuno
balian.

Psikoterapi modern, menurut Fritjof Capra, membantu pasien dengan
membangun suatu mitos individu dengan elemen-elemen yang diambil dari
masa lampau pasien sementara pengobatan semacam balian memberi pasien
suatu mitos sosial yang tidak terbatas pada pengalaman-pengalaman
individu.

Konsep pengobatan balian tidak bekerja pada bawah sadar individu
pasien namun lebih dari itu dia bekerja pada bawah sadar sosial yang
kolektif dan dimiliki seluruh komunitas.

Pendekatan lebih holistik balian dalam memandang tubuh manusia
ini melampaui pendekatan mekanistik kedokteran biomedis yang
memandang tubuh manusia secara parsial. Secara tidak sengaja,
semangat pencarian pengobatan balian ini dapat mengajarkan tentang
dimensi sosial suatu penyakit yang selama ini diabaikan dan dilupakan
banyak kalangan.

Berabad-abad para penyembuh bekerja di dalam komunitasnya, terus
melakukan pencarian penyembuhan primitif itu. Berbekal kearifan
tradisional, mereka yakin penyakit merupakan konsekuensi dari
kekacauan manusia yang tidak hanya melibatkan tubuh melainkan juga
pikiran, gambaran dirinya, ketergantungan pada lingkungan fisik dan
sosial, serta hubungan antara manusia dengan kosmos.

Kekayaan teknik psikologis yang digunakan balian dengan
mengintegrasikan persoalan-persoalan fisik pasien ke dalam konteks
yang lebih luas itu mirip dengan terapi-terapi psikosimatik saat ini.
Kedokteran barat yang menganggap tubuh manusia sebagai mesin yang
bisa dianalisis menurut bagian-bagian terkecilnya tidak memiliki
pendekatan ini.

Fritjof Capra memaparkan, ilmu kedokteran modern sering
kehilangan pandangan tentang pasien sebagai manusia dan mereduksi
kesehatan menjadi keberfungsian mekanis. Ilmu kedokteran tak
mengilmiahkan fenomena penyembuh.

Psikoterapi balian hingga kini memang masih tertutupi misteri.
Namun, sudah banyak pasien yang disembuhkan. Karena itu, kalau sampai
kesehatan modern masuk ke pelosok, sistem pengobatan tradisional
tetap tidak boleh ditinggalkan. (KOMPAS/AMIR SODIKIN)

Keterangan Foto:

Pengobatan balian sedang berlangsung di Desa Tumbang Topus, Kecamatan
Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah. Di daerah
pedalaman hulu Sungai Barito ini pengobatan balian menjadi pilihan
utama masyarakat karena tiadanya alternatif lain. (KOMPAS/AMIR SODIKIN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar