Jumat, 26 Maret 2010

Tari Tradisi dalam Pergeseran Fungsi

Dalam berbagai forum resmi maupun celetukan di kedai kopi, keprihatinan terhadap
hilangnya kesenian tradisi tak habis-habisnya dibicarakan orang. Kenapa orang
cenderung tidak lagi mudah menoleh untuk menikmati pertunjukan-pertunjukan kesenian
tradisi. Ditimpa lagi dengan gencarnya kelompok “lapisan atas” yang beberapa kali
terjadi mendatangkan kelompok-kelompok kesenian impor yang notabene sangat tidak
cocok dengan “selera” simpatisan seni tradisi, yaitu tokoh-tokoh tua dan kelompok
masyarakat menengah ke bawah (konon katanya memang begitu).
Seni tradisi dirampatkan sebagai seni yang monoton, ketinggalan jaman, dan tak
mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi globalisasi masa kini. Wah, kuno! Apa
benar kenyataannya seperti itu? Lalu bagaimana dengan kecenderungan para pelaku
seninya, dalam hal ini tari, menjawab “kenyataan ini” dalam proses kreatif yang terus
digelutinya sepanjang hayat.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan kita kali ini. Kata
kunci “tradisi” mesti dilihat dalam sudut pandang yang proporsional dan benar. Tradisi
bukanlah barang mati yang tak bisa berubah. Perubahannya terjadi seiring dengan derap
perubahan budaya masyarakat pendukungnya. Kalaupun secara tekstual ada
kecenderungan dari beberapa genre yang relatif tetap, maka ada pula kecenderungan lain
yang terkait dan menggiring kita pada fenomena baru, yaitu pada proses transfer
keterampilannya yang terjadi secara turun-temurun maupun daya hidup keseniannya yang
mampu bertahan dalam gempuran berbagai aspek kehidupan modern. Hal ini bisa kita
lihat pada salah satu pertunjukan tradisi Asia, Kabuki di Jepang misalnya, meski berkesan
“monoton” bagi penonton yang tak mengakrabinya, namun untuk mendapat karcis yang
harganya Rp. 300.000,- di Kabukiza Tokyo saja, sulitnya setengah mati. Hal ini
memperlihatkan bahwa Jepang yang sudah mengalami era industrialisasi secara unik
dalam versi Asia (dan kenyataannya malah hampir setiap produknya mampu mendunia),
tetap memberikan perhatiannya pada teater tradisi peninggalan nenek moyang mereka.
Mereka tidaklah menonton episode-episode menarik dalam konteks ceritanya sematamata,
namun akting “bintangnya” merupakan bagian pumpunan ‘fokus’ yang tak
terpisahkan dengan proses penghayatan mereka. “Bintang” ini benar-benar merupakan
bintang panggung yang memiliki kesetaraan dengan kemampuan akting atau kepenarian
dari para karuhun nya. Kemampuannya didapat dari kerja keras sepanjang hayat dalam
kemudahan hubungan jalur keluarga secara linier atau dalam hubungan alur darah
seketurunan; meski bukan tidak mungkin pula terjadi adanya kepemilikan talenta akting
atau kepenariannya berasal dari seseorang yang berdarah lain. Misalnya saja untuk tokoh
onagata ‘peran putri oleh putra’, “mega bintangnya” adalah seseorang yang
mendapatkan julukan Bando Tamasaburo. Dia ternyata bukanlah keturunan darah
Tamasaburo, namun kemampuannya dianggap setara dengan keluarga Tamasaburo,
khususnya kemampuannya dalam memerankan tokoh onagata. Kehidupannya bak
Michael Jackson yang dikelilingi dengan gemerlap kemewahan hidup, dengan
kepemilikan rumah maupun mobil mewah, pengawal dan pelayan yang selalu siap
bahkan untuk mengipasi dirinya bila kegerahan. Dia juga ternyata juga dikenal sebagai
pemeran yang sangat baik dalam drama modern seperti misalnya “Putri Macbeth “nya
Shakespeare atau “Idiot” dalam adaptasi novel Dostoevsky. Namun sebaliknya ia sangat
memukau khalayak dengan peran onagata pada Kabuki, terutama yang dikenal sangat
“melegenda” dalam adegan Musume Dojoji ‘Gadis Penari di Puri Doyo’. Tokoh ini
mengingatkan kita pada tokoh onagata di Indonesia yang memiliki julukan panggung
“Didiek Nini Thowok”. Bedanya, tokoh kita yang satu ini pumpunan garap tarinya
cenderung mengarah pada bentuk tari “humor”, sementara Bando Tamasaburo
kecenderungannya pada kehalusan olahan gerak wanita Jepang tempo doeloe.
Secara fungsional kehalusan dan kelembutan dalam tontonan Musumo Dojoji di atas,
memberikan tuntunan bagi masyarakat Jepang, bagaimana selayaknya seorang wanita itu
mesti bersikap, bertindak, serta berbicara. Muatan ini sangat penting bagi wanita Jepang
tempo doeloe, namun nampaknya juga lebih dirasakan pentingnya bagi wanita masa kini,
yang sudah kehilangan benang merah cara-cara bersikap, bertindak, dan berbicara, akibat
pergeseran paradigma kehidupan, baik dalam tata hubungan antar manusia, maupun
manusia dengan Tuhannya.
Meski muatan isinya sangat menarik dalam rentangan jaman yang tak habis-habisnya
dikaji, banyak pula orang Jepang sendiri yang belum pernah melihat Kabuki di setting
“aslinya” yang terkenal di Kabukiza di atas. Secara proporsional hal ini bisa kita
tempatkan fenomenanya setara dengan kenyataan yang serupa, bahwa banyak pula orang
Indonesia yang ternyata belum pernah melihat “wayang wong” dalam setting aslinya di
kraton.
Genre wayang ini kalau dirunut keberadaannya di masa lalu cukuplah menarik jika
dikaitkan dengan fungsi awalnya, menurut Soedarsono, sebagai bagian dari “ritus
kenegaraan”. Sekarang orang cenderung melihatnya sebagai hiburan, terutama pada
bentuk wayang panggung, yang pada masa lalu menampilkan banyak daya tariknya
melalui peran dan kepenarian tokoh-tokohnya yang melegenda. Namun karena transfer
keterampilannya tidak terlindung dalam jalinan darah (secara turun-temurun) serta
jaminan sosialnya secara transparan kelihatan kembang-kempis, maka tak lagi banyak
orang yang tertarik untuk melibatkan kehidupannya sebagai “anak wayang”. Kelompok
wayang wong yang ada sekarang pun nampak betul-betul harus berjuang sekuat tenaga
untuk menarik minat penggemarnya yang baru dengan diversifikasi sajiannya. Pada era
Roesman-Darsi-Soerono sebagai penari Bung Karno di masa lalu, ketiganya memang
pernah membuat kecintaan penggemarnya seperti layaknya generasi ABG yang
“berteriak-teriak” menjambut kelompok musiknya yang lagi “ngetop” secara histeris.
Dengan kata lain ada sekelompok penggemar yang selalu ikut menonton kemanapun trio
penari di atas tampil di atas pentas. Namun fenomena kenyataan hiburan seperti ini mesti
dicatat pula kondisinya, yaitu bahwa di masa lalu arus informasi dan medianya, TV dan
Radio, belumlah sedemikian gegap gempita seperti saat sekarang ini. Tokoh idola dari
berbagai lapis usia juga sudah bergeser banyak. Tari sebagai paket hiburan mesti juga
dilihat dalam beberapa faset lapisan umur penikmatnya. Jakarta sebagai pusat kegiatan
pemerintahan tak lagi menentukan gairah kota-kota lain di daerah untuk tetap
bersemangat menggelutinya. Bahkan mulai nampak adanya pergeseran fungsi tari tradisi
sebagai milik kolektif menjadi bahan pijakan yang memberikan kepemilikan individual
bagi penatanya.
Lalu bagaimana dengan kekhawatiran di atas. Kalau tradisi selalu berubah,
bagaimana dengan kecenderungan perubahannya yang mungkin akan menyesakkan para
penanggung jawab instansi terkait. Inilah yang mesti mengemuka secara alamiah,
sehingga perubahan yang ada masih memberikan benang merah yang kuat bagi anak
keturunan kita di masa yang akan datang. Secara proporsional kita mesti melihat
kenyataan yang ada terutama vitalitas tari secara kontekstual dalam dukungan masyarakat
penyangganya. Ungkapan “yook, kita dansa” memberikan makna kehidupan tari dalam
kelompok masyarakat elite di masa lalu, di mana orang-orang bisa saling berpelukan
menari dalam temaram lampu dan pilihan irama waltz. Atau sebaliknya “mari, kita
ajonjing!!” Ungkapan ini bisa saja lebih memberikan asosiasi antisipasi kinetis pada
irama ndangdut yang memberikan keleluasaan gerak bagi pelakunya. Dua contoh ini
memberikan perspektif fungsi tari sebagai bagian dari pelepasan jiwa, prestise, indikator
stratifikasi sosial, serta berbagai faset fungsi yang lainnya dalam upaya pernyataan diri
dalam konstelasi tata pergaulan seseorang di masyarakat. Di sisi lain banyak pula bentuk
aktivitas tari yang tidak bisa disejajarkan dengan aktivitas di atas. Tari yang salah satunya
pernah berperan sebagai bagian dari bentuk loyalitas total pada raja di masa lalu, sudah
mulai bergeser menjadi bahan ekspresi diri orang-perseorangan. Di sinilah pergeseran itu
terjadi. Sebelumnya tari merupakan bagian dari peristiwa ritus, dari individu sampai
dengan ritus kenegaraan, dewasa ini keberadaannya mulai menjadi titik sentral yang
menciptakan berbagai keterkaitan lain, misalnya saja, ekonomi, sosial, atau yang sematamata
sebagai pernyataan citra diri. Sebagai laku pernyataan citrawi dewasa ini banyak
diwujudkan dalam konteks pernyataan citra institusional, dalam berbagai peristiwa besar
yang juga menyedot dana yang tidak sedikit. Inilah isi kocek yang mampu terisi bagi
seorang pelaku dan atau pencipta tari yang mampu menggalang dan menciptakan tata
hubungan yang mesra dengan penyandang dana. Sepanjang idealisasi pernyataan citra
dirinya masih dipegang, pergeserannya pada pernyataan citra institusionalnya rasanya tak
akan berbias banyak. Sebab hal ini akan memberikan kecenderungan terwujudnya dialogi
yang bergeser dari yang semula vertikal/
instruksional, menjadi horisontal/dialektis. Anggitan yang kemudian terwujud akan lebih
memberikan daya tarik bagi penontonnya. Ini terjadi karena proses kreasinya yang
berjalan pada tempatnya dan bukan dikondisikan sebagaimana proses kreatif feodalistis
di masa lalu. Mudah-mudahan pergeseran ini memberikan alternatif “pembinaan
kesenian” dalam rel yang lebih alamiah dalam konteks perubahan tradisi yang tidak
“mengkhawatirkan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar